BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
A. Hakikat Pelajaran Matematika
Matematika
berasal dari bahasa latin manthanein
atau mathema yang berarti belajar
atau hal yang dipelajari. Matematika dalam bahasa Belanda disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya
berkaitan dengan penalaran.
Istilah
”matematika” (dari yunani: mathematikos
ialah ilmu pasti, dari kata mathema
atau mathesis yang berarti ajaran,
pengetahuan, atau ilmu pengetahuan). Matematika adalah salah satu pengetahuan
tertua, terbentuk dari penelitian bilangan dan ruang.
1.
Sejarah Matematika
Sebelum
zaman modern dan penyebaran ilmu pengetahuan ke seluruh dunia, contoh-contoh
tertulis dari pengembangan matematika telah mengalami kemilau hanya di beberapa
tempat. Tulisan matematika terkuno yang telah ditemukan adalah Plimpton 322
(matematika Babilonia sekitar 1900 SM), Lembaran Matematika Rhind (Matematika
Mesir sekitar 2000-1800 SM) dan Lembaran Matematika Moskwa (matematika Mesir
sekitar 1890 SM). Semua tulisan itu membahas teorema yang umum dikenal sebagai
teorema Pythagoras, yang tampaknya menjadi pengembangan matematika tertua dan
paling tersebar luas setelah aritmetika dasar dan geometri.
Sumbangan
matematikawan Yunani memurnikan metode-metode (khususnya melalui pengenalan
penalaran deduktif dan kekakuan matematika di dalam pembuktian matematika) dan
perluasan pokok bahasan matematika. Kata "matematika" itu sendiri
diturunkan dari kata Yunani kuno, μάθημα (mathema), yang berarti "mata
pelajaran". Matematika Cina membuat sumbangan dini, termasuk notasi
posisional. Sistem bilangan Hindu-Arab dan aturan penggunaan operasinya,
digunakan hingga kini, mungkin dikembangakan melalui kuliah pada milenium
pertama Masehi di dalam matematika India dan telah diteruskan ke Barat melalui
matematika Islam. Matematika Islam, pada gilirannya, mengembangkan dan
memperluas pengetahuan matematika ke peradaban ini. Banyak naskah berbahasa
Yunani dan Arab tentang matematika kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin,
yang mengarah pada pengembangan matematika lebih jauh lagi di Zaman Pertengahan
Eropa.
Dari zaman
kuno melalui Zaman Pertengahan, ledakan kreativitas matematika seringkali
diikuti oleh abad-abad kemandekan. Bermula pada abad Renaisans Italia pada abad
ke-16, pengembangan matematika baru, berinteraksi dengan penemuan ilmiah baru,
dibuat pada pertumbuhan eksponensial yang berlanjut hingga kini.
Tokoh-Tokoh matematika :
a.
Thales (624-550 SM) Dapat disebut
matematikawan pertama yang
merumuskan teorema atau proposisi, dimana tradisi ini menjadi lebih jelas
setelah dijabarkan oleh Euclid. Landasan matematika sebagai ilmu terapan
rupanya sudah diletakan oleh Thales sebelum muncul Pythagoras yang membuat
bilangan.
b.
Pythagoras (582-496 SM) Pythagoras adalah
orang yang pertama kali mencetuskan aksioma-aksioma, postulat-postulat yang
perlu dijabarkan terlebih dahulu dalam mengembangkan geometri. Pythagoras bukan
orang yang menemukan suatu teorema Pythagoras namun dia berhasil membuat
pembuktian matematis. Persaudaraan Pythagoras menemukan Ö2 sebagai bilangan irrasional.
c.
Socrates (427-347 SM) Ia merupakan seorang
filosofi besar dari Yunani. Dia juga menjadi pencipta ajaran serba cita, karena
itu filosofinya dinamakan idealisme. Ajarannya lahir karena pergaulannya dengan
kaum sofis. Plato merupakan ahli piker pertama yang menerima paham adanya alam
bukan benda.
d.
Ecluides (325-265 SM) Euklides disebut
sebagai “Bapak Geometri” karena menemuka teori bilangan dan geometri.
Subyek-subyek yang dibahas adalah bentuk-bentuk, teorema Pythagoras, persamaan
dalam aljabar, lingkaran, tangen,geometri ruang, teori proporsi dan lain-lain.
Alat-alat temuan Eukluides antara lain mistar dan jangka.
e.
Archimedes (287-212 SM) Dia mengaplikasikan
prinsip fisika dan matematika. Dan juga menemukan perhitungan π (pi) dalam
menghitung luas lingkaran. Ia adalah ahli matematika terbesar sepanjang zaman
dan di zaman kuno. Tiga kaaarya Archimedes membahas geometri bidang datar,
yaitu pengukuran lingkaran, kuadratur dari parabola dan spiral.
f.
Appolonius (262-190 SM) Konsepnya mengenai
parabola, hiperbola, dan elips banyak memberi sumbangan bagi astronomi modern.
Ia merupakan seorang matematikawan tang ahli dalam geometri. Teorema Appolonius
menghubungkan beberapa unsur dalam segitiga.
g.
Diophantus (250-200 SM) Ia merupakan “Bapak
Aljabar” bagi Babilonia yang mengembangkan konsep-konsep aljabar Babilonia.
Seorang matematikawan Yunani yang bermukim di Iskandaria. Karya besar
Diophantus berupa buku aritmatika, buku karangan pertama tentang system
aljabar. Bagian yang terpelihara dari aritmatika Diophantus berisi pemecahan
kira-kira 130 soal yang menghasilkan persamaan-persamaan tingkat pertama.
2.
Karakteristik Pembelajaran Matematika SD
Pembelajaran
matematika pada tingkat SD berbeda dengan pembelajaran pada tingkat
SMP maupun SMA.
Karena disesuaikan dengan
perkembangan peserta didiknya. Adapun
ciri-ciri pembelajaran matematika di SD diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. Pembelajaran matematika menggunakan metode
spiral
Pendekatan spiral dalam pembelajaran matematika merupakan pendekatan
dimana pembelajaran konsep
atau topik matematika
selalu mengaitkan atau menghubungkan dengan topik sebelumnya.
b. Pembelajaran matematika bertahap
Materi pelajaran matematika diajarkan secara bertahap yaitu dimulai dari
konsep-konsep yang sederhana menuju yang lebih sulit. Selain itu pembelajaran
matematika dimulai dari yang konkrit, ke semi konkrit, dan akhirnya
kepada konsep abstrak.
c. Pembelajaran matematika menggunakan metode
induktif
Metode induktif sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik usia
Sekolah Dasar, karena metode induktif ini dimulai dari contoh-contoh.
Misalnya pengenalan bangun-bangun ruang tidak dimulai dari definisi, melainkan
dengan memperhatikan contoh-contoh dari bangun tersebut.
d. Pembelajaran matematika menganut kebenaran
konsistensi
Kebenaran matematika merupakan kebenaran yang konsisten artinya tidak ada
pertentangan antara kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lainnya.
e. Pembelajaran matematika hendaknya bermakna
Pembelajaran bermakna merupakan
cara mengajarkan materi
pelajaran yang mengutamakan pengertian
dan pemahaman daripada
hafalan. Dalam pembelajaran bermakna
siswa mempelajari matematika
mulai dari proses terbentuknya suatu konsep kemudian
menerapkannya dan memanipulasi konsep- konsep tersebut pada situasi baru.
B.
Definisi Belajar, Hasil Belajar, Dan Manfaat Hasil Belajar
1.
Definisi Belajar
Belajar merupakan hal terpenting yang harus dilakukan manusia untuk
menghadapi
perubahan lingkungan yang senantiasa berubah setiap waktu, oleh karena
itu hendaknya seseorang
mempersiapkan dirinya
untuk menghadapi kehidu pan yang dinamis dan penuh persaingan dengan
belajar, dimana didalamnya termasuk belajar memahami diri sendiri, memahami perubahan, dan
perkembangan globalisasi. Sehingga dengan belajar seseorang siap menghadapi perkembangan zaman yang begitu
pesat. Belajar merupakan suatu proses perubahan sikap dan perilaku yang berdasarkan pengetahuan dan pengalaman pendapat tersebut didukung
oleh penjelasan Slameto (2010:2) bahwa :
Belajar adalah suatu proses usaha
yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam berinteraksi dengan
lingkungannya.
Dari uraian yang mengacu pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
belajar adalah suatu proses usaha perubahan tingkah
laku yang melibatkan jiwa dan raga sehingga menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, nilai dan sikap yang dilakukan oleh seorang individu melalui latihan dan
pengalaman dalam interaksinya dengan lingkungan yang selanjutnya dinamakan hasil belajar.
2.
Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar
merupakan kemampuan yang
diperoleh individu setelah proses belajar berlangsung, yang
dapat memberikan perubahan tingkah laku baik pengetahuan, pemahaman, sikap dan
keterampilan mahasiswa sehingga menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sebagaimana
yang dikemukakan Hamalik (1995: 48) hasil belajar adalah “Perubahan tingkah
laku subjek yang meliputi kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor dalam
situasi tertentu berkat pengalamannya
berulang-ulang”. Pendapat tersebut
didukung oleh Sudjana
(2005: 3) “hasil belajar ialah perubahan tingkah laku
yang mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotor yang dimiliki siswa
setelah menerima pengalaman belajarnya”.
Hasil belajar
Manajemen Sistem Penyelenggaraan Makanan
Institusi merupakan tingkat kemampuan
yang dapat dikuasai
dari materi yang
telah diajarkan mencakup tiga kemampuan sebagaimana yang telah
diungkapkan oleh Bloom di dalam
Sudjana (2007: 22-32)
bahwa tingkat kemampuan
atau penugasan yang dapat dikuasai oleh mahasiswa mencakup tiga aspek
yaitu:
a. Kemampuan
kognitif (cognitive domain)
adalah kawasan yang
berkaitan dengan aspek-aspek
intelektual atau secara logis yang biasa diukur dengan pikiran atau nalar.
Kawasan ini terdiri dari:
1)
Pengetahuan
(Knowledge), mencakup ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan
dalam ingatan.
2)
Pemahaman (Comprehension), mengacu
pada kemampuan memahami makna materi.
3)
Penerapan
(Application), mengacu pada kemampuan menggunakan atau menerapkan materi
yang sudah dipelajari
pada situasi yang
baru dan menyangkut penggunaan
aturan dan prinsip.
4)
Analisis
(Analysis), mengacu pada kemampuan menguraikan materi ke dalam komponen-komponen atau
faktor penyebabnya, dan
mampu memahami hubungan di antara bagian yang satu dengan lainnya
sehingga struktur dan aturannya dapat lebih dimengerti.
5)
Sintesis (synthesis), mengacu pada kemampuan
memadukan konsep atau komponen-komponen
sehingga membentuk suatu
pola struktur atau bentuk baru.
6)
Evaluasi (Evaluation), mengacu pada kemampuan memberikan
pertimbangan terhadap nilai-nilai materi untuk tujuan tertentu.
b. Kemampuan afektif (The affective domain) adalah kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek
emosional, seperti perasaan,
minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya.
Kawasan ini terdiri dari:
1)
Kemampuan menerima
(Receiving), mengacu pada
kesukarelaan dan kemampuan
memperhatikan respon terhadap stimulasi yang tepat.
2)
Sambutan
(Responding), merupakan sikap mahasiswa dalam memberikan respon aktif terhadap
stimulus yang datang dari luar, mencakup kerelaan untuk memperhatikan secara
aktif dan perpartisipasi dalam suatu kegiatan.
3)
Penghargaan
(Valueving), mengacu pada penilaian atau pentingnya kita mengaitkan diri
pada objek atau kejadian tertentu dengan reaksi-reaksi seperti menerima, menolak,
atau tidak memperhitungkan. Tujuan-tujuan tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi sikap yang apresiasi.
4)
Pengorganisasian (Organizing),
mengacu pada penyatuan
nilai sebagai pedoman dan
pegangan dalam kehidupan.
5)
Karakteristik nilai
(Characterization by value), mencakup
kemampuan untuk menghayati nilai-nilai
kehidupan sedemikian rupa,
sehingga menjadi milik pribadi (internalisasi) dan menjadi pegangan
nyata dan jelas dalam mengatur kehidupannya.
c. Kemampuan psikomotor (The psychomotor domain) adalah kawasan yang berkaitan dengan
aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot
(neuronmuscular system) dan fungsi psikis. Kawasan ini terdiri dari:
1)
Persepsi (Perseption), mencakup
kemampuan untuk mengadakan diskriminasi yang tepat antara dua perangsang atau lebih, berdasarkan
perbedaan antara ciri-ciri fisik yang khas pada masing-masing rangsangan.
2)
Kesiapan (Ready),
mencakup kemampuan untuk
menempatkan dirinya dalam keadaan
akan memulai sesuatu gerakan atau rangkaian gerakan.
3)
Gerakan
terbimbing (Guidance response), mencakup kemampuan untuk melakukan suatu
rangkaian gerak-gerik, sesuai
dengan contoh yang diberikan (imitasi)
4)
Gerakan yang
terbiasa (Mechanical response),
mencakup kemampuan untuk melakukan
sesuatu rangkaian gerak-gerik
dengan lancar, karena sudah
dilatih secukupnya, tanpa
memperhatikan lagi contoh
yang diberikan.
5)
Gerakan
kompleks (Complexs response), mencakup
kemampuan untuk melaksanakan suatu
keterampilan, yang terdiri atas beberapa komponen, dengan lancer, tepat, dan
efisien.
6)
Penyesuaian pola
gerak (Adjusment), mencakup
kemampuan untuk mengadakan
perubahan dan penyesuaian pola gerak-gerik dengan kondisi setempat atau
dengan menunjukkan suatu taraf
keterampilan yang telah mencapai kemahiran.
7)
Kreatifitas
(Creativity), mencakup kemampuan untuk melahirkan aneka pola gerak-gerik yang
baru, seluruhnya atas dasar prakarsa dan sendiri.
Dari ketiga
kemampuan ini dijadikan
dasar sebagai kemampuan
yang harus dimiliki oleh siswa
untuk selanjutnya dijadikan sebagai dasar dalam menempuh pembelajaran
selanjutnya.
3. Manfaat Hasil Belajar
Hasil belajar
pada hakekatnya adalah
perubahan tingkah laku
yang mencakup bidang kognitif,
afektif dan psikomotor. Pendidikan dan pengajaran dikatakan berhasil
apabila perubahan-perubahan yang tampak
pada mahasiswa merupakan akibat dari proses belajar mengajar yang dialaminya
yaitu proses yang ditempuhnya melalui program dan kegiatan yang dirancang dan
dilaksanakan oleh dosen dalam proses pengajarannya.
Berdasarkan hasil belajar mahasiswa, dapat diketahui kemampuan dan
perkembangan sekaligus tingkat keberhasilan pendidikan dalam perkuliahan.
Sebagaimana dikemukakan ole Douglas
Bentos dalam Kustiani, (2006:20) yaitu:
“To learn
is to change, to demonstrate change a person capabilities must change. Learning
has taken place when students: a. Know more than they know before, b.
Understand what they have not understood before, c. Develop a skill that was
not develop before, or e. Appreciate a subject that they have not appreciate
before”.
Kutipan
tersebut dapat diartikan bahwa hasil belajar harus menunjukkan perubahan keadaan menjadi lebih baik, sehingga dapat
bermanfaat untuk: (a) menambah
pengetahuan, (b) lebih
memahami sesuatu yang
belum dipahami sebelumnya, (c) lebih mengembangkan
keterampilannya, (d) memiliki pandangan yang baru atas sesuatu hal, (e) lebih
menghargai sesuatu daripada sebelumnya.
Mengacu dari
kutipan dari Douglas
Benton dapat disimpulkan
bahwa istilah hasil belajar
merupakan perubahan dari peserta didik sehingga terdapat perubahan dari segi
pengetahuan, sikap dan keterampilan.
C.
Pengertian Dan Ciri-Ciri Pengamatan (Pengamatan)
a.
Pengertian observasi/pengamatan (Observation)
Menurut Kartono (1980: 142)
pengertian observasi diberi batasan sebagai berikut: “studi yang disengaja dan
sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan
pengamatan dan pencatatan”. Selanjutnya dikemukakan tujuan observasi adalah:
“mengerti ciri-ciri dan luasnya signifikansi dari inter relasinya elemen-elemen
tingkah laku manusia pada fenomena sosial serba kompleks dalam pola-pola
kulturil tertentu”.
Observasi dapat menjadi teknik
pengumpulan data secara ilmiah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Diabdikan pada pola dan tujuan
penelitian yang sudah ditetapkan.
2)
Direncanakan dan dilaksanakan
secara sistematis, dan tidak secara kebetulan (accidental) saja.
3)
Dicatat secara sistematis dan
dikaitkan dengan proposisi-proposisi yang lebih umum, dan tidak karena didorong
oleh impuls dan rasa ingin tahu belaka.
4)
Validitas, reliabilitas dan
ketelitiannya dicek dan dikontrol seperti pada data ilmiah lainnya (Jehoda, M.
dkk, 1959 dalam Kartono 1980: 142).
Catatan penulis: Untuk nomor 4) istilah validitas dan reliabilitas dalam penelitian
kualitatif tidak biasa digunakan, istilah yang biasa digunakan untuk
menggantikan kedua istilah tersebut adalah kredibilitas.
Poerwandari tidak memberikan batasan
tentang observasi tetapi memberikan penjelasan tentang observasi sebagai
berikut: “Observasi barangkali menjadi metode yang paling dasar dan paling tua
di bidang psikologi, karena dengan cara-cara tertentu kita selalu terlibat
dalam proses mengamati. Semua bentuk penelitian psikologis, baik itu kualitatif
maupun kuantitatif mengandung aspek observasi di dalamnya. Istilah observasi
diturunkan dari bahasa Latin yang berarti “melihat” dan “memperhatikan”.
Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat
fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena
tersebut. Observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian psikologis, dapat
berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental)
maupun dalam konteks alamiah (Banister dkk, 1994 dalam Poerwandari 1998: 62).
Catatan penulis: Observasi yang dilakukan dalam laboratorium dalam konteks
eksperimental itu adalah observasi dalam rangka penelitian kuantitatif.
Observasi dalam rangka penelitian kualitatif harus dalam konteks alamiah (naturalistik).
Patton (1990: 201 dalam Poerwandari,
1998: 63) menegaskan observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam
penelitian, apalagi penelitian dengan pendekatan kualitatif. Agar memberikan
data yang akurat dan bermanfaat, observasi sebagai metode ilmiah harus
dilakukan oleh peneliti yang sudah melewati latihan-latihan yang memadai, serta
telah mengadakan persiapan yang teliti dan lengkap.
Moleong tidak memberikan batasan
tentang observasi, tetapi menguraikan beberapa pokok persoalan dalam membahas
observasi, diantaranya: a) alasan pemanfaatan pengamatan, b) macam-macam
pengamatan dan derajat peranan pengamat (Moleong, 2001: 125).
a) Manfaat
Pengamatan
Menurut Guba dan Lincoln (1981: 191 –
193 dalam Moleong 2001: 125-126) alasan-alasan pengamatan (observasi)
dimanfaatkan sebesar-besarnya dalam penelitian kualitatif, intinya karena:
1)
Pengamatan merupakan pengalaman
langsung, dan pengalaman langsung dinilai merupakan alat yang ampuh untuk
memperoleh kebenaran. Apabila informasi yang diperoleh kurang meyakinkan, maka
peneliti dapat melakukan pengamatan sendiri secara langsung untuk mengecek
kebenaran informasi tersebut.
2)
Dengan pengamatan dimungkinkan
melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian
sebagaimana yang sebenarnya.
3)
Pengamatan memungkinkan
peneliti mencatat peristiwa yang berkaitan dengan pengetahuan yang relevan
maupun pengetahuan yang diperoleh dari data.
4)
Sering terjadi keragu-raguan
pada peneliti terhadap informasi yang diperoleh yang dikarenakan kekhawatiran
adanya bias atau penyimpangan. Bias atau penyimpangan dimungkinkan karena
responden kurang mengingat peristiwa yang terjadi atau adanya jarak psikologis
antara peneliti dengan yang diwawancarai. Jalan yang terbaik untuk
menghilangkan keragu-raguan tersebut, biasanya peneliti memanfaatkan
pengamatan.
5)
Pengamatan memungkinkan
peneliti mampu memahami situasi-situasi yang rumit. Situasi yang rumit mungkin
terjadi jika peneliti ingin memperhatikan beberapa tingkah laku sekaligus. Jadi
pengamatan dapat menjadi alat yang ampuh untuk situasi-situasi yang rumit dan
untuk perilaku yang kompleks.
6)
Dalam kasus-kasus tertentu
dimana teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan menjadi alat
yang sangat bermanfaat. Misalkan seseorang mengamati perilaku bayi yang belum
bisa berbicara atau mengamati orang-orang luar biasa, dan sebagainya.
Perlu ditekankan disini pengamatan
dimaksudkan agar memungkinkan pengamat melihat dunia sebagaimana yang dilihat
oleh subjek yang diteliti, menangkap makna fenomena dan budaya dari pemahaman
subjek. Pengamatan memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan
dihayati oleh subjek, bukan apa yang dirasakan dan dihayati oleh si peneliti.
Jadi interpretasi peneliti harus berdasarkan interpretasi subjek yang diteliti.
b) Macam Pengamat dan Derajat
Pengamat
Menurut Moleong (2001: 126-127)
pengamatan dapat dibedakan menjadi: a) pengamatan berperan serta, b) pengamatan
tidak berperan serta. Pengamatan juga dapat diklasifikasikan menjadi: a)
pengamatan terbuka, apabila keberadaan pengamat diketahui oleh subjek yang
diteliti, dan subjek memberikan kesempatan kepada pengamat untuk mengamati
peristiwa yang terjadi dan subjek menyadari adanya orang yang mengamati apa
yang subjek kerjakan, b) pengamatan tertutup apabila pengamat melakukan
pengamatan tanpa diketahui oleh subjek yang diamati. Pengamatan juga dapat
diklasifikasikan menjadi: a) pengamatan dengan latar alamiah atau pengamatan
tidak terstruktur dan b) pengamatan buatan atau pengamatan terstruktur.
Pengamatan terstruktur ini disebut eksperimen biasa digunakan dalam penelitian
kuantitatif. Sedang pengamatan alamiah atau pengamatan tidak terstruktur inilah
yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif.
Selanjutnya Bunford Junker (dalam
Moleong, 2001: 126-127) membagi peran peneliti sebagai pengamat menjadi 4 (empat)
jenis, yaitu:
1)
Berperan serta secara lengkap (the complete participant). Pengamat
dalam hal ini menjadi anggota penuh dari suatu kelompok yang diamati, artinya
peneliti bergabung secara penuh atau menjadi anggota secara penuh dalam
kelompok yang diamati sendiri oleh peneliti. Dengan demikian peneliti dapat
memperoleh informasi apa saja yang dibutuhkannya, termasuk yang rahasia.
2)
Pemeran serta sebagai pengamat
(the participant as observer).
Peneliti tidak sepenuhnya menjadi anggota kelompok yang diamati (misalnya
anggota kehormatan), tetapi masih dapat melakukan fungsi pengamatan. Hal-hal
rahasia masih dapat diketahui.
3)
Pengamat sebagai pemeran serta
(the observer as participant).
Peranan pengamat secara terbuka diketahui oleh umum, karena segala macam informasi
termasuk yang rahasia dapat dengan mudah diperoleh.
4)
Pengamat penuh (the complete observer). Biasanya hal ini
terjadi pada pengamatan suatu eksperimen dilaboratorium yang menggunakan kaca
sepihak. Peneliti dengan bebas mengamati secara jelas subjeknya dari belakang
kaca, sedang subjeknya sama sekali tidak mengetahui apakah mereka sedang
diamati atau tidak.
Flick (2002: 135) menjelaskan tentang
observasi sebagai berikut: disamping kemampuan berbicara dan mendengarkan
sebagaimana digunakan dalam wawancara-wawancara, observasi merupakan
keterampilan harian lain sebagai secara metodelogis disistematisir dan
diterapkan dalam penelitian kualitatif. Tidak hanya persepsi visual tetapi juga
persepsi berdasarkan pendengaran, perasaan dan penciuman yang diintegrasikan.
(“Besides the competencies of speaking
and listening which are used in interviews, observing is another everyday skill
which is methodologically systematized and applied in qualitative research. Not
only visual perceptions but also those based on hearing, feeling and smelling
are integrated (Adler and Adler 1998)”).
Dengan menyetujui pendapat Friedrichs
(1973: 272-273), Flick (2002: 135) menyatakan prosedur observasi secara umum
diklasifikasikan menjadi 5 (lima) dimensi, yaitu:
a)
Observasi tertutup versus
observasi terbuka: seberapa jauh observasi diberitahukan kepada siapa yang
diobservasi. (“Covert versus overt
observation: how far is the observation revealed to those who are observed”).
b)
Observasi tidak terlibat versus
observasi terlibat: seberapa jauh pengamat menjadi bagian yang aktif dari
lapangan yang diamati. (“Non-participant
versus participant observation: how far does the observer become an active part
of the observed field”).
c)
Observasi sistematis lawan
observasi yang tidak sistematis: adalah suatu observasi yang lebih atau kurang
terstandarisasikan dalam pola pelaksanaannya atau observasi yang lebih
fleksibel dan tanggap terhadap proses penelitian sendiri. (“Systematic versus unsystematic observation:
is a more or less standarized observation scheme applied or does observation
remain rather flexible and responsive to the processes themselves”).
d)
Observasi secara alamiah versus
situasi-situasi buatan: apakah observasi dilakukan dalam lapangan yang diminati
atau apakah observasi dilakukan terhadap interaksi yang mengarah ke suatu
tempat yang khusus (misalnya suatu laboratorium) yang memungkinkan observasi
yang lebih baik. (“Observation in natural
versus artificial situations: are observation done in the field of interest or
are interactions ’moved’ to a special place (eq. a laboratory) to give a better observability”).
e)
Observasi diri versus
mengobservasi orang-orang lain: kebanyakan orang lain diobservasi, maka berapa
banyak niat/atensi peneliti melakukan refleksi dalam observasi diri sendiri
untuk dijadikan dasar selanjutnya pada waktu melakukan penafsiran atas apa yang
diobservasi. (“Self-observation versus
observing others: mostly other people are observed, so how much attention is
paid to the researcher’s reflexive self-observation for futher grounding the
interpretation of the observed”).
Mengenai tahap-tahap observasi,
penulis seperti Adler dan Adler (1998), Denzin (1989 b), dan Spradley (1980)
(dalam Flick, 2002: 136) menyatakan bahwa observasi memiliki 7 (tujuh) tahap,
yaitu:
a)
Seleksi suatu latar (setting)
yaitu dimana dan kapan proses-proses dan individu-individu yang menarik itu
dapat diobservasi (“The selection of a
setting, i.e. where and when the interesting processes and persons can be
observed”).
b)
Berikan definisi tentang apa
yang dapat didokumentasikan dalam observasi itu dan dalam setiap kasus. (“The definition of what is to be documented
in the observation and in every case”).
c)
Latihan untuk pengamat supaya
ada standarisasi misalnya apa yang dijadikan fokus-fokus penelitian. (“The training of the observers in order to
standarized such focuses”).
d)
Observasi deskriptif yang
memberikan suatu pemaparan umum mengenai lapangan. (“Descriptive observations which provide an initial general presentation
of the field”).
e)
Observasi terfokus yang semakin
terkonsentrasi pada aspek-aspek yang relevan dengan pertanyaan penelitian. (“Focused observations which concentrate more
and more on aspects that are relevant to the research questions”).
f)
Observasi selektif yang
dimaksudkan untuk secara sengaja menangkap hanya aspek-aspek pokok. (“Selective observations which are intended to
purposively grasp only central aspects”).
g)
Akhir dari observasi apabila
kepenuhan teori telah tercapai, yaitu apabila observasi lebih lanjut tidak
memberikan pengetahuan lanjutan. (“The
end of the observations, when theoretical saturation has been reached (Glaser
and Strauss, 1967), i.e. futher observations do not provide any futher
knowledge”).
Kerlinger (1986, terjemahan
Simatupang 1990: 857) intinya menyatakan bahwa manusia melakukan pengamatan
sehari-hari terhadap orang lain, lingkungan sekeliling dan lain-lain. Tetapi
pengamatan seperti itu jelas tidak memberikan data yang dapat dipergunakan
untuk penelitian ilmiah. Oleh peneliti-peneliti kuantitatif agar data hasil pengamatan
dapat dimanfaatkan dalam penelitian ilmiah perlu diterapkan prosedur pengukuran
yaitu setiap perilaku diberi skor menurut aturan tertentu, sehingga berdasarkan
skor-skor tersebut dapat disusun kesimpulan. Namun menurut Kerlinger hal
tersebut ternyata masih menimbulkan kontroversi dan perdebatan. Para peneliti
kuantitatif menyatakan bahwa perilaku tersebut harus dikontrol secara ketat dan
cermat agar perilaku tersebut dapat dikenakan prosedur pengukuran, dengan
demikian data tersebut bermanfaat untuk ilmu pengetahuan ilmiah.
Peneliti-peneliti kualitatif menyatakan bahwa pengamatan harus alamiah
(naturalistik): pengamat harus larut dalam situasi realistik dan alami yang
sedang berlangsung, dan harus mengamati perilaku sebagai yang muncul dalam wujud
yang sebenarnya. Walaupun hal ini dalam pelaksanaannya sangat sulit dan rumit.
Sedang Bachtiar (dalam
Koentjoroningrat, 1977: 139) intinya menyatakan bahwa dalam pengetahuan ilmiah
mengenai segala sesuatu yang diwujudkan oleh alam semesta, pengamatan merupakan
teknik yang pertama-tama digunakan dalam penelitian ilmiah. Selanjutnya
dinyatakan berbeda dengan pengamatan yang dilakukan sehari-hari, pengamatan
sebagai cara penelitian menuntut dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang
merupakan jaminan bahwa hasil pengamatan memang sesuai dengan kenyataan yang
menjadi sasaran penelitian. Syarat-syarat tersebut adalah peneliti harus
berusaha membandingkan dengan hasil pengamatan orang lain dalam masalah yang
sama dan dalam keadaan yang sama, apabila ternyata mendapatkan hasil yang tidak
sama, maka harus diperiksa kembali dimana kesalahannya. Untuk menguji kebenaran
suatu pengamatan, peneliti dapat mengulang pengamatannya kemudian membandingkan
dengan hasil pengamatan pertama. Walaupun hal ini tidak selalu dapat dilakukan
karena ada peristiwa yang hanya sekali terjadi, sehingga tidak dapat diamati
lagi. Catatan penulis: untuk
membandingkan hasil pengamatan dari seorang peneliti dengan peneliti lain
adalah sangat sulit karena belum tentu mendapatkan peneliti dalam masalah yang
sama dengan subjek yang sama. Oleh karena itu peneliti wajib membandingkan
wajib penelitiannya dengan hasil pengamatan significant
others yaitu individu yang dinilai berwibawa, dipercaya, disegani oleh
subjek yang diteliti sehingga persepsinya terhadap subjek yang diteliti
dianggap benar atau sesuai dengan kenyataannya.
Menurut Suparlan (1997: 103) metoda
pengamatan digunakan untuk memperoleh informasi mengenai gejala-gejala yang
dalam kehidupan sehari-hari dapat diamati. Hasil pengamatan biasanya didiskusikan
oleh si peneliti dengan warga masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui
makna yang terdapat dibalik gejala-gejala tersebut. Selanjutnya menurut
Suparlan (1994: 62) intinya terdapat anggapan sementara pihak bahwa pengamatan
dinilai bukan suatu metoda penelitian yang ilmiah karena sederhana, tidak rumit
teknik-tekniknya dan tidak susah memahami dan menggunakannya. Padahal apabila
digunakan sesuai persyaratannya akan memperoleh data yang tepat dan dapat
dipertanggung jawabkan. Suparlan selanjutnya mengemukakan bahwa dalam
penelitian ilmiah yang menggunakan metoda pengamatan, si peneliti hendaknya
memperhatikan 8 (delapan) hal sebagai berikut:
a)
Ruang atau tempat: setiap
gejala (benda, peristiwa, orang, hewan) selalu berada dalam ruang atau tempat tertentu.
Bahkan keseluruhannya dari benda atau gejala yang ada dalam ruang yang
menciptakan suatu suasana tertentu patut diperhatikan oleh si peneliti,
sepanjang hal itu mempunyai pengaruh gejala-gejala yang diamatinya.
b)
Pelaku: pengamatan terhadap
pelaku mencakup ciri-ciri tertentu yang dengan ciri-ciri tersebut sistem
kategorisasi yang berpengaruh terhadap struktur interaksi dapat terungkapkan.
c)
Kegiatan: dalam ruang atau
tempat tersebut para pelaku tidak hanya berdiam diri saja tetapi melakukan
kegiatan-kegiatan, yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan, yang dapat
mewujudkan adanya serangkaian interaksi di antara sesama mereka.
d)
Benda-benda atau alat-alat:
semua benda-benda atau alat yang berada dalam ruang atau tempat yang digunakan
oleh para pelaku dalam melakukan kegiatan-kegiatannya atau ada kaitannya dengan
kegiatan-kegiatannya haruslah diperhatikan dan dicatat oleh si peneliti.
e)
Waktu: setiap kegiatan selalu
berada dalam suatu tahap-tahap waktu yang berkesinambungan. Seorang peneliti
harus memperhatikan waktu dan urut-urutan kesinambungan dari kegiatan, atau
hanya memperhatikan kegiatan tersebut dalam satu jangka waktu tertentu saja dan
tidak secara keseluruhan.
f)
Peristiwa: dalam
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku, bisa terjadi sesuatu peristiwa
diluar kegiatan-kegiatan yang nampaknya rutin dan teratur itu atau juga terjadi
peristiwa-peristiwa yang sebenarnya penting tetapi dianggap biasa oleh para
pelakunya. Seorang peneliti yang baik harus tajam pengamatannya dan tidak lupa
untuk mencatatnya.
g)
Tujuan: dalam kegiatan-kegiatan
yang diamati bisa juga terlihat tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh para
pelakunya sebagaimana terwujud dalam bentuk tindakan-tindakan dan ekspresi muka
dan gerak tubuh atau juga dalam bentuk ucapan-ucapan dan ungkapan-ungkapan
bahasa.
h)
Perasaan: pelaku-pelaku juga
dalam kegiatan dan interaksi dengan sesama para pelaku dapat terlihat dalam
mengungkapkan perasaan dan emosi-emosi mereka dalam bentuk tindakan, ucapan,
ekspresi muka dan gerakan tubuh. Hal-hal semacam ini juga harus diperhatikan
oleh si peneliti.
Dari berbagai pendapat beberapa tokoh
tentang pengamatan (observasi) maka dapat disimpulkan bahwa pengamatan
(observasi) dalam konteks penelitian ilmiah adalah studi yang disengaja dan
dilakukan secara sistematis, terencana, terarah pada suatu tujuan dengan
mengamati dan mencatat fenomena atau perilaku satu atau sekelompok orang dalam
konteks kehidupan sehari-hari, dan memperhatikan syarat-syarat penelitian
ilmiah. Dengan demikian hasil pengamatan dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya.
Agar hasil pengamatan dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya maka hasil pengamatannya hendaknya
dibandingkan dengan hasil pengamatan peneliti lain tentang orang atau fenomena
yang sama dan dalam situasi yang sama pula. Dapat juga dilakukan dengan
mengulangi pengamatannya atau melengkapi dengan menggunakan teknik lain
misalnya wawancara dan lain-lain. Atau dapat pula dilakukan dengan
membandingkan dengan hasil pengamatan dari significant
others. Jelaslah bahwa prinsip triangulasi dalam penelitian kualitatif
harus ditegakkan.
b.
Ciri-ciri Pengamatan (Observasi)
1)
Persyaratan lain disamping
diterapkannya prinsip triangulasi, maka agar hasil observasi dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya perlu adanya latihan untuk melakukan
observasi, dan telah dimilikinya secara mantap pengetahuan teoritis atau
konseptual dalam bidang atau masalah yang diobservasi oleh si peneliti. Atau
dengan kata lain peneliti telah memiliki kepekaan teoritis (theoretical sensitivity).
2)
Pengamatan dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya
dalam penelitian kualitatif karena mempunyai keunggulan sebagai berikut:
a)
Pengamatan yang dilakukan
sendiri oleh si peneliti dapat diperoleh kebenaran yang meyakinkan, karena si
peneliti dapat secara langsung mengecek kebenaran informasi.
b)
Pengamatan memungkinkan si
peneliti mampu memahami situasi yang rumit yaitu jika si peneliti ingin
memperhatikan beberapa tingkah laku sekaligus atau tingkah laku yang kompleks.
c)
Dengan pengamatan dimungkinkan
melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kegiatan
sebagaimana yang sebenarnya.
3)
Dalam kasus-kasus tertentu
dimana teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan menjadi alat
yang sangat bermanfaat, misalnya mengamati bayi yang belum dapat berbicara,
atau mengamati orang yang menderita cacat; tuna rungu/tuna wicara, tuna netra,
dan lain-lain.
Perlu mendapatkan perhatian bagi peneliti muda
(mahasiswa S-1 yang sedang menyusun Skripsi dengan pendekatan kualitatif)
tujuan pengamatan adalah menangkap makna fenomena sebagaimana pemahaman subjek
yang diteliti terhadap fenomena tersebut. Merasakan apa yang dirasakan dan
dihayati oleh subjek yang diteliti, bukan apa yang yang dirasakan dan dihayati
oleh si peneliti.
4)
Menggaris bawahi pendapat
Poerwandari (1998: 62) yang menyatakan bahwa pengamatan diarahkan pada kegiatan
memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan
mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut. Ini berarti
pengamatan harus dilakukan dengan teliti dan cermat, dengan demikian pengamatan
tidak dapat dilakukan secara bersamaan dengan wawancara, karena tidak mungkin
pengamatan yang dilakukan bersamaan waktu dengan wawancara akan mendapatkan
hasil teliti dan cermat.
5)
Mengacu pendapat dari Kerlinger
(1986 terjemahan Simatupang, 1990: 857) yang menyatakan pengamatan dalam
konteks penelitian kualitatif situasi yang diamati harus realistik dan alami
(naturalistik), maka pendapat Banister dkk (1994 dalam Poerwandari, 1998: 62)
yang menyatakan observasi dapat berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental)
maupun konteks alamiah, maka pernyataan bahwa observasi dapat berlangsung dalam
konteks laboratorium (eksperimental) harus diartikan observasi tersebut
dilakukan dalam rangka penelitian kuantitatif. Disini eksperimen direncanakan
dan dilaksanakan oleh si peneliti. Subjek yang diteliti dalam eksperimen
penelitian kuantitatif berperan sebagai objek eksperimen. Observasi dapat pula
dilakukan dalam penelitian kualitatif apabila eksperimen disusun dan dilakukan
oleh peneliti lain, si peneliti mengamati subjek yang diteliti dalam eksperimen
tersebut dalam situasi apa adanya. Subjek yang diteliti tidak menjadi objek
eksperimen dan tidak tahu kehadiran observer (eksperimen dengan laboratorium
berkaca).
6)
Agar dapat berfungsi sebagai
metoda dalam penelitian ilmiah pengamatan harus dilakukan sesuai
persyaratannya. Apabila hal tersebut dilakukan maka akan memperoleh data yang
tepat dan dapat dipertanggung jawabkan (Suparlan, 1994: 62). Peneliti dalam
penelitian ilmiah dengan menggunakan teknik pengamatan harus memperhatikan 8
(delapan) hal, yaitu: a) ruang atau tempat, b) pelaku, c) kegiatan, d)
benda-benda atau alat-alat, e) waktu, f) peristiwa, g) tujuan, h) perasaan
subjek yang diteliti.
7)
Mengacu pendapat beberapa
penulis Flick (2002: 136) menyatakan terdapat 7 (tujuh) tahap dalam pelaksanaan
observasi, yaitu:
a)
Melakukan seleksi terhadap setting penelitian.
b)
Mendefinisikan apa yang dapat
didokumentasikan dalam observasi dan dalam setiap kasus.
c)
Melakukan latihan bagi peneliti
tentang aturan-aturan yang harus ditaati dalam melakukan pengamatan sesuai
fokus-fokus penelitian yang direncanakan.
Catatan penulis: fokus penelitian dapat berubah sesuai kondisi dilapangan.
d)
Mendiskripsikan apa yang akan
dilakukan dilapangan.
e)
Memokuskan observasi pada
aspek-aspek yang relevan dengan pertanyaan penelitian.
f)
Menyeleksi apa yang diobservasi
dengan mengutamakan aspek-aspek pokok.
g)
Mengakhiri observasi apabila
tujuan observasi telah tercapai artinya apa yang akan diobservasi tidak dapat
dikembangkan lagi karena telah sesuai dengan teori yang mendasari, dan tidak
akan mendapatkan data-data baru lagi yang memberikan pengetahuan baru.
D.
Pengamatan Terlibat (Participant Observation)
Menurut Suparlan (1994: 7) dalam
penelitian etnografi, pengamatan terlibat merupakan metoda yang utama digunakan
untuk pengumpulan bahan-bahan keterangan kebudayaan disamping metoda-metoda
penelitian lainnya. Sedang pendapat penulis pengamatan terlibat merupakan
teknik pengumpulan informasi (data) yang sangat penting dalam penelitian
kualitatif untuk bidang psikologi, karena agar dapat menghayati perasaan,
sikap, pola pikir yang mendasari perilaku subjek yang diteliti secara mendalam
tidak cukup memadai apabila hanya dilakukan dengan wawancara. Keterlibatan
langsung si peneliti dalam kehidupan sehari-hari dari subjek yang diteliti
dapat memungkinkan hal-hal tersebut tercapai. Selanjutnya menurut Suparlan
berbeda dengan metoda-metoda pengamatan lainnya, sasaran dalam pengamatan
terlibat adalah orang atau pelaku ( subjek yang diteliti). Karena itu juga keterlibatannya
dengan sasaran yang ditelitinya berwujud dalam hubungan-hubungan sosial dan
emosional. Hal tersebut dilakukan dengan melibatkan dirinya dalam kegiatan dan
kehidupan pelaku yang diamatinya sesuai dengan kacamata kebudayaan dari para
pelakunya sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan psikologi karena perilaku
manusia tidak mungkin lepas dari nilai-nilai budaya yang melatar belakanginya.
Bahwa budaya merupakan jaringan makna atau nilai ini dikemukakan oleh Clifford
Greetz (1992) dalam bukunya yang berjudul: “Tafsir Kebudayaan”.
Sedang definisi pengamatan terlibat (participant observation dari Denzin
(1989: 157-8 dalam Flick, 2002: 139)) sebagai berikut: “Pengamatan terlibat
didefinisikan sebagai suatu strategi lapangan yang secara simultan (serempak)
mengkombinasikan analisis dokumen, mewawancarai para responden dan
informan-informan, observasi dan partisipasi (keterlibatan) langsung dan
instrospeksi (“Participant observation
will be defined as a field strategy that simultaneously combines document analysis,
interviewing of respondents and informants, direct participation and
observation, and instrospection”).
Jorgensen (dalam Flick, 2002: 139)
membedakan pengamatan terlibat (participant
observation) dengan pengamatan tidak terlibat (non-participant observation) dalam 7 (tujuh) hal, sebagai berikut:
a.
Pengamatan terlibat ditujukan
pada minat khusus atau nilai-nilai/makna-makna kemanusiaan dan interaksi antar
manusia seperti pandangan dari perspektif orang-orang yang berada di dalam atau
bagian situasi dan setting khusus. (“A special interest in human meaning and
interaction as viewed from the perspective of people who are insiders or
members of particular situations and settings”).
b.
Lokasi/tempat disini dan
sekarang dari setting dan situasi
kehidupan sehari-hari sebagai dasar penelitian dan metoda. (“Location in the here and now of everyday
life situations and setting as the foundation of inquiry and method”).
c.
Suatu bentuk teori dan
penyusunan teori yang menekankan interpretasi dan pemahaman tentang eksistensi
manusia. (”A form of theory and
theorizing stressing interpretation and understanding of human existence”).
d.
Suatu proses penelitian yang
logis yang terbuka-tertutup, fleksibel, memberi kesempatan dan memerlukan
redefinisi yang tetap dari apa yang menjadi permasalahan, berdasarkan pada
fakta-fakta yang dikumpulkan dalam setting
yang konkret dari eksistensi manusia. (“A
logic and process of inquiry that is open-ended, flexible, opportunistic, and
requires constant redefinition of facts gathered in concrete setting of human
existence”).
e.
Suatu yang mendalam,
kualitatif, pendekatan dan disain studi kasus. (“An in-depth, qualitative, case study approach and design”).
f.
Kinerja/performansi dari
peranan orang yang terlibat yang meliputi pemantapan dan pemeliharaan hubungan-hubungan
dengan warga setempat dilapangan, dan (“The
performance of a participant role or roles that in volves establishing and
maintining relationships with natives in the field; and”).
g.
Menggunakan observasi langsung
dengan metoda-metoda untuk mengumpulkan informasi lainnya. (“The use of direct observation along with
other methods of gathering information”).
Dari penjelasan-penjelasan tersebut
dapat disimpulkan bahwa pengamatan terlibat (participant observation) adalah studi yang disengaja dan dilakukan secara sistematis, terencana,
terarah pada suatu tujuan dimana pengamat atau peneliti terlibat langsung dalam
kehidupan sehari-hari dari subjek atau kelompok yang diteliti. Dengan
keterlibatan langsung dalam kehidupan sehari-hari tersebut menyebabkan
terjadinya hubungan sosial dan emosional antara peneliti dengan subjek yang
diteliti, dampaknya si peneliti mampu menghayati perasaan, sikap, pola pikir
yang mendasari perilaku subjek yang diteliti terhadap masalah yang dihadapi.
Untuk memperdalam wawasan pembaca
tentang pengamatan terlibat akan diuraikan seluk beluk pengamatan terlibat dari
pandangan Suparlan (1997: 100-101). Dikemukakan bahwa dalam kegiatan penelitian
dengan menggunakan metoda pengamatan
terlibat si peneliti bukan hanya mengamati gejala-gejala yang ada dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat yang diteliti, tetapi juga melakukan
wawancara, mendengarkan, merasakan, dan dalam batas-batas tertentu mengikuti
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh mereka yang ditelitinya. Wawancara yang
dilakukannya bukanlah wawancara formal, yang biasa dilakukan dengan menggunakan
kuesioner, tetapi sebuah wawancara yang terwujud sebagai dialog yang spontan
berkenaan dengan suatu masalah atau topik yang kebetulan sedang dihadapi oleh
pelaku. Justru yang spontan inilah yang objektif dan sahih karena tidak
direkayasa terlebih dulu oleh para informan (pemberi informasi yaitu individu
yang dapat memberikan informasi tentang masalah/subjek yang diteliti). Inti
dari metoda pengamatan terlibat adalah mengumpulkan informasi melalui
pancainderanya. Metoda ini berbeda dengan metoda pengamatan yang hanya
menggunakan indera mata saja, atau dengan metoda wawancara dengan pedoman yang
hanya menggunakan telinga untuk mendengarkan apa yang dipikirkan atau dirasakan
oleh informan.
Keterlibatan peneliti di dalam
kehidupan masyarakat yang diteliti mungkin dapat dilakukan kalau si peneliti
tersebut diterima oleh masyarakat yang ditelitinya. Salah satu prasyarat untuk
dapat diterima oleh masyarakat yang diteliti adalah kejujuran dalam menjelaskan
siapa dirinya, dan memberikan penjelasan tersebut dengan secara masuk akal.
Selanjutnya dijelaskan bahwa metoda
pengamatan digunakan untuk memperoleh informasi mengenai gejala-gejala yang
dalam kehidupan sehari-hari dapat diamati. Hasil pengamatan biasanya
didiskusikan oleh si peneliti dengan warga masyarakat yang bersangkutan untuk
mengetahui makna yang terdapat dibalik gejala-gejala tersebut. Hasil-hasil
pengamatan biasanya mencakup setting
dari lingkungan hidup, lokasi, dan kondisi fisik dan sosial dari unsur-unsur
yang ada dalam masyarakat tersebut. Selanjutnya menurut Spindler (1982: 6 – 7
dalam Suparlan 1997: 108 – 110) pedoman umum yang harus diperhatikan dalam
melaksanakan pengamatan terlibat, diantaranya:
a.
Pengamatan-pengamatan yang
dilakukan harus kontekstual. Peristiwa-peristiwa yang signifikan harus dilihat
dalam kerangka hubungan dari setting
(latar) yang sedang diteliti di dalam konteks-konteks yang lebih luas dan yang
terletak di luar setting tersebut.
b.
Hipotesa-hipotesa dan
pertanyaan-pertanyaan penelitian harus muncul sejalan dengan berlangsungnya
penelitian yang dilakukan dan berada dalam setting
untuk diamati. Ketentuan untuk memutuskan yang mana yang signifikan untuk
dipelajari sebaiknya ditunda sampai tahap orientasi dari penelitian lapangan
tersebut telah selesai dilalui.
c.
Pengamatan berlangsung lama dan
berulang-ulang. Rangkaian peristiwa-peristiwa harus diamati lebih dari satu
kali.
d.
Pandangan warga setempat (the native view) yaitu pandangan dari
setiap orang yang terlibat di dalam setting
sosial mengenai kenyataan harus diungkapkan melalui inferensi-inferensi dari
pengamatan dan melalui berbagai bentuk penelitian etnografi: wawancara,
prosedur-prosedur lainnya yang dipilih (termasuk penggunaan sejumlah alat bantu
penelitian), dan bahkan kalau perlu dapat menggunakan kuesioner walaupun harus
dengan secara hati-hati.
Catatan penulis: walaupun hal tersebut di atas dimaksudkan untuk penelitian
etnografi, tetapi menurut penulis berlaku juga untuk penelitian bidang-bidang
studi yang lain, termasuk psikologi.
Selanjutnya menurut Suparlan (1994:
72 - 79) terdapat bermacam-macam keterlibatan si peneliti dalam pengamatan
terlibat, yaitu:
- Keterlibatan pasif. Dalam kegiatan pengamatannya, si peneliti tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku yang diamatinya, dan dia juga tidak melakukan sesuatu bentuk interaksi sosial dengan pelaku atau para pelaku yang diamati. Keterlibatannya dengan para pelaku terwujud dalam bentuk keberadaannya dalam arena kegiatan yang diwujudkan oleh tindakan-tindakan pelakunya.
Contoh. Seorang peneliti yang ingin mengetahui bagaimana pola tindakan
warga Jakarta untuk memperoleh pelayanan fasilitas yang terbatas ditempat umum.
Kasus yang diamati adalah ditempat penjualan karcis kereta api untuk luar kota
di stasiun Gambir. Cara yang dilakukannya adalah: Dia cukup datang ke stasiun
kereta api Gambir, berdiri diruang tempat adanya loket penjualan karcis untuk
luar kota. Di papan pengumuman terdapat jadual-jadual pemberangkatan
masing-masing kereta api dan jam-jam penjualan karcis. Si peneliti tidak harus
ikut berdiri dimuka loket dan membeli karcis untuk dapat keterangan yang
diperlukan. Dengan demikian si peneliti cukup berdiri terpisah dari orang-orang
yang sibuk berusaha memperoleh karcis, tetapi dia juga tidak betul-betul
terpisah dari para pelaku yang diamatinya karena ia berada dalam arena
kegiatan-kegiatan yang sedang diamatinya. Dalam keadaan demikianlah si peneliti
digolongkan sebagai pengamat dengan keterlibatan yang pasif.
- Keterlibatan Setengah-setengah. Dalam kegiatan pengamatannya, si peneliti mengambil suatu kedudukan yang berada dalam dua hubungan struktural yang berbeda, yaitu antara struktur yang menjadi wadah bagi kegiatan-kegiatan yang diamatinya dengan struktur dimana dia sebagian dari dan menjadi pendukungnya. Dalam kedudukan demikian, peranannya adalah mengimbangi antara peranan yang harus dimainkan di dalam struktur yang ditelitinya dengan struktur yang dalam mana dia menjadi salah satu unsurnya.
Contoh. Seorang mahasiswa kriminologi
yang hendak mengadakan penelitian mengenai kehidupan nara pidana disebuah
Lembaga Pemasyarakatan; tidak mungkin untuk dapat mengadakan pengamatan dengan
cara hidup dipenjara sama dengan nara pidana (atau salah satu kategori nara
pidana sesuai dengan masa hukuman dan kejahatan yang telah dilakukannya)
lainnya. Pertama, kehidupan sebagai nara pidana
terlalu berat bagi mahasiswa tersebut, karena dalam kehidupan di Lembaga
Pemasyarakatan masih juga terkandung unsur-unsur kekerasan dan kekejaman dalam
segala seginya. Kedua, akan terjadi kesukaran untuk
menempatkan kedudukan si mahasiswa dalam struktur sosial yang berlaku dalam
lembaga tersebut, yang dapat merugikan usaha-usahanya untuk memperoleh
keterangan-keterangan yang diperlukan. Justu dia dikenal sebagai mahasiswa oleh
para nara pidana itu maka kemungkinan besar dia lebih banyak untuk dapat
memperoleh keterangan yang diperlukan dibandingkan kalau dia betul-betul
sebagai nara pidana dalam kegiatan penelitiannya. Dalam kedudukan sebagai
mahasiswa, dalam satu segi dia “orang luar” lebih banyak “dipercaya” untuk
mengamati kegiatan-kegiatan mereka secara sewajarnya dibandingkan kalau dia
berperan sebagai nara pidana atau sebagai petugas Lembaga Pemasyarakatan. Dalam
keadaan demikian dia akan tetap mempertahankan peranannya sebagai peneliti atau
pengamat yang terlibat setengah-setengah.
- Keterlibatan Aktif. Dalam kegiatan pengamatannya, si peneliti ikut mengerjakan apa yang dikerjakan oleh para pelakunya dalam kehidupan sehari-harinya. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukannya untuk dapat betul-betul memahami dan merasakan (meng-internalisasikan) kegiatan-kegiatan dalam kehidupan mereka dan aturan-aturan yang berlaku serta pedoman-pedoman hidup yang mereka jadikan sandaran pegangan dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.
Contoh. Seorang peneliti yang berusaha
untuk membuat etnografi salah satu suku bangsa terasing di Indonesia, yaitu
Orang Sakai yang hidup di wilayah Propinsi Riau, telah menggunakan pengamatan
terlibat. Dalam kegiatan penelitiannya, dia hidup/tinggal bersama dengan Orang
Sakai yang ditelitinya ditempat pemukiman mereka. Secara bertahap dia berusaha
untuk dapat memperoleh bahan-bahan keterangan yang diperlukan, yang antara lain
adalah turut aktif mengerjakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Orang
Sakai yang ditelitinya. Misalnya, untuk memperoleh bahan keterangan mengenai
sistem mata pencaharian, khususnya dalam hal ini cara-cara mereka menjerat
hewan hutan, menangkap ikan, dan sebagainya, maka si peneliti tersebut ikut
dalam kegiatan-kegiatan menjerat hewan di hutan, menangkap ikan (dengn berbagai
tekniknya) di sungai, di rawa-rawa dan digenangan air, dan sebagainya. Dalam
kerangka pembicaraan mengenai tahap-tahap kegiatan dalam penelitian dengan
menggunakan metoda pengamatan terlibat, sebenarnya Pengamatan Keterlibatan
Aktif dapat dilihat sebagai satu tahap perantara untuk mencapai tahap
berikutnya yaitu Pengamatan Terlibat Sepenuhnya atau Lengkap.
- Keterlibatan Penuh atau Lengkap. Pada waktu si peneliti telah menjadi sebagian dari kehidupan warga masyarakat yang ditelitinya, artinya dalam kehidupan warga masyarakat tersebut kehadiran si peneliti dianggap biasa dan kehadirannya dalam kegiatan-kegiatan para warga telah dianggap sebagai suatu “keharusan”, maka pada waktu tersebut si peneliti sebenarnya telah mencapai suatu tahap keterlibatan yang penuh atau lengkap. Dalam keadaan demikian, sebenarnya kedudukan dan peranan si peneliti telah didefinisikan dalam struktur sosial yang berlaku, oleh para warga itu sendiri. Sebenarnya tidak mudah untuk mencapai tahap ini, dan pencapaian tersebut sebagian terbesar tergantung pada kemampuan si peneliti untuk dapat memanipulasi kondsi-kondisi yang dipunyainya dalam kaitannya dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya yang bersumber pada situasi penelitiannya. Dalam banyak hal seorang peneliti yang menggunakan metoda pengamatan terlibat dapat mencapai tahap ini; yaitu setelah memakan waktu yang cukup lama dalam hubungan si peneliti dengan warga masyarakat yang bersangkutan dan setelah warga masyarakat tersebut merasa bahwa si peneliti bukan orang yang “jahat” bahkan orang-orang yang “baik”.
Berkenaan
dengan tahap pengamatan terlibat yang penuh atau lengkap ini, perlu dicatat
bahwa tidak semua peneliti dengan menggunakan pengamatan terlibat dapat
menggunakan cara teknik pengamatan terlibat penuh atau lengkap. Hal ini
disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa tidak semua sasaran penelitian itu
memungkinkan dilakukannya penelitian dengan menggunakan teknik pengamatan
terlibat penuh. Ada sasaran-sasaran penelitian yang cukup membahayakan (baik
dari segi fisik maupun segi sosial dan kejiwaan) bagi para peneliti yang ingin
menggunakan teknik keterlibatan yang sepenuhnya. Contohnya adalah penelitian terhadap atau mengenai kehidupan orang homo sek oleh seorang peneliti laki-laki
yang tidak tergolong sebagai orang homo sek; juga penelitian terhadap kehidupan nara pidana Lembaga Pemasyrakatan
(seperti contoh yang telah dikemukakan terdahulu).
Disamping pengamatan terlibat,
menurut Suparlan terdapat 2 (dua) macam pengamatan yang lain, yaitu pengamatan
biasa dan pengamatan terkendali, berikut penjelasannya:
- Pengamatan Biasa. Metoda ini menggunakan teknik pengamatan yang mengharuskan si peneliti tidak boleh terlibat dalam hubungan-hubungan emosi pelaku yang menjadi sasaran penelitiannya. Contoh penelitian dengan menggunakan metoda pengamatan biasa dengan sasaran manusia adalah seorang peneliti yang mengamati pola kehidupan para pelawak yang muncul dipanggung televisi RI. Si peneliti dalam hal ini tidak ada hubungan apapun dengan para pelaku yang diamatinya. Hal yang sama juga dapat dilihat pada contoh dimana si peneliti mengamati pola kelakuan para pejalan kaki di Jalan Salemba Raya (dimuka gedung UI) dari jembatan penyeberangan yang ada disitu.
Penggunaan metoda pengamatan biasa,
biasanya selalu digunakan untuk mengumpulkan bahan-bahan keterangan yang
diperlukan berkenaan dengan masalah-masalah yang terwujud dari sesuatu
peristiwa, gejala-gejala dan benda, contohnya adalah seorang peneliti yang
hendak memperoleh keterangan berkenaan dengan pengaruh kenaikan harga BBM
baru-baru ini terhadap harga beras dipasaran ibukota Jakarta. Pertama dia harus
mengidentifikasi tempat-tempat dimana beras dijual (pasar biasa, yang dibedakan
lagi dalam penjual grosir, penjual eceran; di warung-warung yang tersebar di
kampung-kampung di kota Jakarta; dan di supermarket-supermarket). Untuk
kemudahan dia menentukan untuk memilih supermarket sebagai sasaran tempat
penjualan beras yang diamati, yang mudah melakukannya karena ada tertera harga
beras dikantong pembungkusnya. Dalam melakukan pengamatannya, dia akan
menentukan jangka waktu pengamatan, ambil contoh misalnya selama tujuh hari
yang dimulai pengamatannya satu hari setelah diumumkannya kenaikan BBM
tersebut. Selama tujuh hari si peneliti cukup mendatangi
supermarket-supermarket yang ada di Jakarta, mencatat harga beras sesuai dengan
kategori (beras Cianjur kepala, Cianjur slip, Raja lele, dan lain-lain
sebagaimana yang terdapat dijual supermarket-supermarket tersebut). Dalam
kegiatan penelitiannya ini dia sama sekali tidak ada hubungan emosional ataupun
perasaan dengan beras yang diamati harganya.
Dalam
pengamatan biasa, seringkali dalam kegiatan-kegiatan pembuatan peta sesuatu
kampung seorang peneliti juga menggunakan alat yang dapat membantunya untuk
melakukan pengamatan atas gejala-gejala dan benda secara lebih tepat. Alat ini
sebenarnya berfungsi untuk membantu ketajaman penglihatan matanya. Dengan alat
ini tidak ada keterlibatan emosi dan perasaan dengan sasaran pengamatannya.
- Pengamatan Terkendali. Dalam pengamatan terkendali, si peneliti juga tidak terlibat hubungan emosi dan perasaan dengan yang ditelitinya; seperti halnya dengan pengamatan biasa. Yang membedakan pengamatan biasa dengan pengamatan terkendali adalah para pelaku yang akan diamati, diseleksi dan kondisi-kondisi yang ada dalam ruang atau tempat kegiatan pelaku itu diamati dikendalikan oleh si peneliti. Contohnya, sebuah eksperimen untuk mengukur tingkat ketegangan jiwa (anxiety) para pelaku pemain catur. Dua orang pemuda yang umurnya sama, begitu juga latar belakang pendidikan, kondisi sosial, kebudayaan dan suku bangsanya sama, serta sama-sama belum pernah bermain catur karena belum mengetahui aturan-aturan dan cara bermainnya dipilih. Kedua orang ini melalui penataran terbatas, diberi pelajaran bagaimana bermain catur. Isi pelajaran catur yang diberikan dan waktu pelajaran adalah sama. Setelah persiapan-persiapan tersebut dianggap mencukupi, sesuai persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh peneliti, maka kedua orang tersebut lalu disuruh bermain di dalam sebuah ruang kaca yang tidak tembus penglihatan keluar. Bersamaan dengan itu masing-masing pemain pada tubuhnya juga ditempeli macam-macam kabel yang berguna untuk mencatat frekuensi detak jantung, denyut nadi, temperatur tubuh, perkeringatan, dan hal-hal lain yang diperlukan. Dalam keadaan demikian si peneliti berada di luar ruang tempat kedua pelaku tersebut bermain catur. Si peneliti mengamati dan mencatat jalannya permainan (dari tahap pembukaan sampai dengan akhir permainan), tindakan-tindakan kedua pelaku. Hasil pengamatannya dan catatan-catatan yang dibuat oleh mesin keduanya dianalisa sesuai dengan tujuan penelitiannya. Dalam penelitian seperti ini, si pengamat sama sekali tidak mempunyai hubungan dalam bentuk apapun selama pengamatan dilakukan dengan para pelaku yang diamatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar